Judul
: Selimut Debu
Penulis
: Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jenis
: Memoar
Genre
: Traveling, Sosial
Terbit
: Januari 2010
Halaman : xiv + 461
Ukuran
: 13,5 x 20 cm
Kompas: [Agustinus] tak ingin hanya menjadi penonton isi dunia. Ia mau terlibat sepenuhnya dalam perjalanan itu. Ia tak sekedar melihat pemandangan, berpindah dari satu tempet ke tempat lain, tetapi juga mengenal budaya dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Pembeli:
Berapa harga kepala kambing ini?
Penjual:
Lima puluh afghani,
Pembeli:
Lima puluh? Terlalu mahal! Dua puluh saja,
Penjual:
Apa? Dua puluh afghani? Kamu gila? Kamu
kira ini kepala manusia?
--Lelucon Kandahar--
Afghanistan, negeri yang luluh
lantah akibat perang kini berbenah untuk bangkit. Menjelajahi negeri ini seolah
kembali ke masa puluhan tahun lalu. Listrik, sekolah, rumah sakit, atau apapun yang
melambangkan modernitas adalah sesuatu langka disini.
“Di
sana Cuma ada debu!” ungkap salah seoarang warga Afghan ( halaman
26). Tapi bagi Agustinus, Afghanistan lebih dari sekedar itu. Dalam bukunya Ia
tidak hanya menghadirkan puing-puing sisa kehancuran perang tapi juga
menghadirkan surga-surga yang tak dilihat kebanyakan orang. Tidak hanya
berpetualang menjelajahi kota satu ke kota lain, dia juga mendalami karakter,
agama, kehidupan sosial, sudut pandang dan budaya di Afghanistan.
Saya beruntung membaca buku ini
karena tidak perlu susah payah pergi ke Afghanistan. Saya jadi tahu bagaimana kondisi sesungguhnya Afghanistan pasca perang. Perjalanan ekstrem berpuluh kilometer melewati bukit cadas, bagaimana cara bertahan hidup di tengah gurun pasir tandus, dan cara menjadikan kematian sebagai lelucon karena saking terbiasanya hidup dikelilingi bahaya. Kenapa jadi inget kucing ya, hewan yang sering dijadikan umpatan tujuh nyawa. hahaha
*********
Layaknya Indonesia, Afghanistan juga memiliki
beberapa suku bangsa diantaranya Pashtun, Tajik, Hazara, dan Farsiwan. Pashtun
adalah suku terbesar di Afghanistan. Penguasa-penguasa Afghanistan
kebanyakan berasal dari suku Pashtun. Dan ini seringkali menjadikan jiwa superiotas
Pashtun dibanding suku lain. Menganggap sukunya paling tinggi
derajatnya. Wajah agustinus yang mongoloid dan berhidung
pesek sangat mirip suku minoritas hazara. Ia seringkali mendapat masalah karena kemiripannya itu. Ternyata
manusia di belahan bumi manapun sama saja ya. Selalu memandang sesuatu dari luarannya saja.
Contoh lain Burqo, pakaian yang membungkus seluruh tubuh
wanita Afghanistan kebanyakan seringkali dianggap dunia sebagai simbol
penindasan bagi kaum wanita. Namun apa yang kita anggap buruk belum tentu buruk
pula bagi mereka yang menjalani. Mereka merasa lebih nyaman berlindung dibalik burqo dan berdiam diri dirumah karena situasi Afghanistan yang tak menentu.
‘Aduh
kasihannya perempuan-perempuan ini harus bekerja. Aduh kasihannya, mengapa para
suami tidak bekerja untuk mereka? Aduh kasihan betul!” pendapat mereka melihat photo wanita Malaysia yang bekerja.
********
Sisi lain Afghanistan opium misalnya. Opium adalah tumbuhan bahan baku narkotika justru tumbuh subur. Bukan hal tabu jika kamu seoarang pecandu opium di Afghanistan. Hal biasa, malahan opium di tanam di tanah lapang yang bisa dilihat semua orang.
Pengalaman mengerikan pernah Agustinus dapatkan ketika menumpang truk yang keneknya seoarang pecandu opium. Dia nyaris terbakar hidup-hidup, hampir mati. Pengalaman ekstrem lain misalnya dia pernah hampir diperkosa pemuda suku Pashtun. Sedetik saja lengah dia pasti bukan perawan lagi.
Tapi selain kesialan yang selalu berujung keberuntungan Ia selalu bisa melihat segala hal dari berbagai sudut pandang. Buku ini bukan sekedar sebuah perjalanan menurut saya. Tapi lebih tentang bagaimana cara hidup menjadi manusia yang lebih manusiawi. Sangat recomended dibaca di era sekarang dimana toleransi dan kemanusian mulai luntur di diri kita.
Pengalaman mengerikan pernah Agustinus dapatkan ketika menumpang truk yang keneknya seoarang pecandu opium. Dia nyaris terbakar hidup-hidup, hampir mati. Pengalaman ekstrem lain misalnya dia pernah hampir diperkosa pemuda suku Pashtun. Sedetik saja lengah dia pasti bukan perawan lagi.
Tapi selain kesialan yang selalu berujung keberuntungan Ia selalu bisa melihat segala hal dari berbagai sudut pandang. Buku ini bukan sekedar sebuah perjalanan menurut saya. Tapi lebih tentang bagaimana cara hidup menjadi manusia yang lebih manusiawi. Sangat recomended dibaca di era sekarang dimana toleransi dan kemanusian mulai luntur di diri kita.
Empat tuzki untuk buku ini. Harusnya bisa lima si kalo kisah di setiap babnya lebih teratur waktunya. hehe